Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Untuk Tuan Minke.

Gambar
Beludru merah erat memeluk lukisan, Bunga Akhir Abad tertawa di atas luasnya harapan. Seorang lelaki tetap berharap di bawah lipatan duka, Kumisnya tebal. Ia termenung sembunyikan muka. Sementara, Wanita Tiongkok tersenyum dalam bingkai masa lalu. Tubuh kurusnya tetap kirimkan mimpi dan padamkan haru. Sempat menjadi penyembuh, Namun kini hilang tak tersentuh. Sang pria tetap tenang menunggu gadisnya yang lain, Jarak menyiksa; sementara air mata tak terseka. Bocah kecil yang dulu digendong, menjelma menjadi gadis peranakan Eropa yang eloknya tak tertolong. Sebagai pengagum kecantikan, si pria tak sanggup elakkan, Terpikir ingin kawinkan raga dan perasaan, namun terbentur penolakkan. Sang pria hidup berkelakar tabah, Dua kali ditinggal mati, tapi ia tak akan pernah lelah. Terbaring diatas lantai, Kemudian kucurkan air mata penuh hina. Kepada seluruh penghuni Bumi Manusia , Anak -anak dari Semua Bangsa, dan pemilik Jejak Langkah , Silakan berteduh di Rumah Kaca ,

Terimakasih, Rohi (Bagian 6 -Akhir)

1 Juli 1943. Perasaan bahagia menyelimutiku saat bangun tidur setiap paginya. Jo, kini resmi menjadi calon suamiku. Ia meminta izin untuk menikahiku pada Papa dan Mama, ia juga menyurati Ben untuk meminta izin. Tentu mereka mengiyakan. Ben, kakakku tercinta yang kini menetap di London. Kemarin ia kirimkan dua lembar surat untukku, tak lupa istrinya, Loui juga ikut menyumbangkan guratan tangannya untuk menyapaku di Hindia. Ben bercerita, bahwa ia sangat bahagia. Satu lagi! Aku resmi mempunyai keponakan baru. Eliza namanya, sama seperti namaku. Ben juga menyampaikan bahwa bulan depan ia akan berkunjung kesini, dan hadir di pernikahanku. Bahagia sekali, bukan? Tapi, dua minggu terakhir ini, aku merasakan sepi yang teramat sangat. Papa dan Mama harus pulang ke Nederland, sedangkan Jo harus kembali ke Jerman untuk menghadiri pemakaman Neneknya. "Non, sahaya mohon izin untuk bertanya. Tidakkah Noni sekiranya menyusul Tuan dan Nyonya ke Nederland sekarang? atau menyusul Tuan Jo ke Jerma

Nippon (Bagian 5)

Senang rasanya aku selalu dibersamakan dengan Jo. Sekarang, dia bukan hanya penjagaku yang dilantik langusng oleh Ben. Tapi Jo juga menjadi sahabatku, pendengar terbaikku, dan tamengku dari hal-hal menyedihkan. Hari-hariku menjadi lebih bahagia semenjak....kepergian Ben. Terimakasih, Jo. Saat aku sedang asyik berbincang dengan Jo, Rohi datang dan duduk mengampu didepanku. "Noni, sahaya mohon ampun. Sahaya harus pergi" Rohi berkata sambil menundukkan kepala. Kudengar suaranya bergetar, kemudian ia berusaha menahan airmata. "Ada apa, Rohi? Apa kau semakin tak kuat mengurusiku yang semakin dewasa ini? Apakah uang yang diberikan Papa kurang untuk membayar jasamu?" Aku sontak kaget dengan pernyataannya. Disampingku, Jo langsung berdiri, matanya tajam mengawasi Rohi. "Tidak, Noni. Sahaya mohon izin, mohon ampun. Suami sahaya sakit di Cheribon. Kuli, Noni, demam tinggi sudah satu minggu lebih. Sahaya tak kuat untuk tak bertemu dan merawatnya. Mohon ampun, Noni"

Weltevreden (Bagian 4)

Tak butuh waktu lama bagiku untuk merelakan Ben pergi, hanya dua minggu setelahnya aku berhasil bangkit. Ben tak ingkar, ia tetap menjagaku dengan buku-bukunya. Ben tak mau aku terbelakang, terpinggirkan oleh manusia-manusia di Betawi ini yang sudah mulai maju. Sedari kecil, Ben selalu menginginkanku menjadi wanita yang cerdas seperti Mama. Kemudian, kuberanikan diri membuka kamar Ben. Lalu, mulai ku ambil beberapa buku yang menarik. Salah satunya adalah buku Medan , buku yang ditulis oleh Kartoatmadja seorang terpelajar Pribumi dari tanah Jawa. Mengisahkan kebangkitan dan tenggelamnya sebuah organisasi yang diketuai Raden Mas Minke. Baru membaca halaman pertamanya saja, aku langsung tertarik dengan kepribadian lelaki ini. Pribumi yang berani. Mungkin, karena ia terpelajar, jadi tak bisa ditindas begitu saja oleh Pemerintah. Aku keluar dari kamar Ben sambil setengah berlari. Kemudian, aku melihat Jo sedang duduk di sitje, akupun menyusul duduk disebelahnya dan membuka pembicaraan deng

Ik Haat Je, Ben! (Bagian 3)

Pagi ini, aku bangun lebih pagi. Mama bilang, Papa dan Ben akan pulang hari ini. Kusiapkan kue-kue kesukaan Ben. Betapa rindunya aku dengan Ben. Mama telah bercerita semuanya tentang kejadian setahun yang lalu. Kejadian itu membuat Ben sedikit mengubah sikapnya terhadapku. "Mama tak perlu panjang lebar bercerita. Aku melihat kejadian itu. Bukankah Ben mencintaiku?" Mama terperanjat. Dipeluknya aku, kemudian diciuminya aku. "Jaa, Mama. Aku mengintip dari pintu ruang kerja Papa" Aku mulai menangis. "Sayang, bisakah Mama meminta satu hal kepadamu?" Mama menyeka air matanya, dan air mataku kemudian tersenyum. Ia lalu beranjak sedikit dari sampingku dan mulai menarik selimutku. "Ben itu kakakmu, sampai kapanpun kalian tetap saudara. Mama tak pernah membenci Ben, meskipun dia bukan anak kandung Mama. Tapi, Ben butuh Mama selamanya, dan butuh kau, butuh Papa. Jadi, kita tetap keluarga. Cintai Ben seperti kakakmu, tidak lebih" Mama kembali menciumiku da

Sedikit Kisah Dariku, Benjamin Rudi van Degraff (Bagian 2)

Benjamin Rudi van Degraff, kalian bertanya-tanya mengapa nama "Rudi" terselip ditengah namaku? Nama yang sangat inlander. Aku tidak seperti Lili, yang kedua orangtuanya merupakan orang Belanda asli. Aku memang putera Tuan Joddy van Degraff (ayahku dan Lili), namun aku bukan anak Mevrouw Elditha Kohl van Degraff (ibunda Lili). Aku adalah anak Salimah, wanita pribumi yang pernah menjadi gundik Papa. Ibuku, Salimah sudah meninggal saat aku berumur 1 tahun. Ia sakit keras, dan sampai saat ini aku tak pernah tau sakit apa yang ia derita. Nyai Salimah adalah wanita asli Betawi yang dijadikan wanita simpanan Papa, saat istri sah nya masih menetap di Belanda. Enam bulan setelah ibuku meninggal, Mevrouw El datang ke Hindia dengan kondisi hamil besar, dan akan melahirkan. Aku heran, mengapa wanita dengan kondisi hamil besar seperti itu diperbolehkan berlayar dari Belanda ke Hindia yang membutuhkan waktu hampir sebulan. Saat Mevrouw El datang, ia langsung memelukku dan menangis. Aku ma

Lili (Bagian 1)

Aku Lili, seorang anak perempuan Belanda yang sangat sangat sangat bahagia. Aku dikelilingi keluarga yang mencintaiku, termasuk kakak laki-lakiku, Ben juga sangat menyayangiku. Hari-hariku sangat berwarna. Bermain, bercanda, membaca, dan berjalan-jalan. Aku sering menemani Rohi (pengasuhku) berbelanja ke pasar. Semua Pribumi selalu menunduk melihatku, tak tahulah aku ada apa dengan mereka. Hanya Rohi lah seorang Pribumi yang berani menatapku, mendengarkan keluh kesah dan ceritaku, dan memberiku masukkan; bahkan Rohi tak segan memarahiku kalau nakalku terlewat batas. Suatu hari, Papa, Mama dan Ben tak ada dirumah. Mereka pergi ke Buitenzorg (sekarang kalian menyebutnya Bogor) untuk urusan pekerjaan. Saat aku sedang sarapan diruang makan, aku bertanya pada Rohi "Rohi, apakah aku akan selamanya tinggal di negara ini?" kemudian Rohi menjawab seadanya "mungkin iya, mungkin tidak, Non" aku tahu mengapa kalimat sederhana itu meluncur dari mulutnya. Rohi takut dimarahi ol