Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Ketika Buntu.

Sedikit cerita ringan di sore hari. Kali ini, Kamis, 11 November 2021. Di tengah kebuntuan mengerjakan soal ujian kuliah, aku memilih kembali berimajinasi melalui tulisan. Melambungkan doa-doa, sembari sedikit berkeluh kesah.   Semakin menua, hidup kiranya semakin berat. Ingin rasanya memaki keadaan dan mempertanyakan arah hidup ini kepada Tuhan. Namun, aku merasa tak pantas. Diberikan kesempatan hidup dan memperbaiki diri saja; aku bersyukur.   Jika membayangkan rutinitasku yang begitu padat dan membosankan, ingin aku berteriak sekuat tenaga. Merapal segala sumpah serapah. Setiap hari, harus bergumul dengan padatnya Ibu Kota. Jika bukan karena keluarga, sanggup aku tinggalkan ini semua.   Namun lagi-lagi. Malu rasanya aku mengeluh. Banyak orang di luar sana yang hidupnya lebih pelik ketimbang aku. Hingga akhirnya aku sadar, tidak ada alasan lagi untuk bermanja ria kepada Tuhan; si empunya kehidupan.   Untuk siapa saja yang sedang berjuang; mari saling menggenggam. Tu

Kopong

Berulang kali aku memaki, Bertanya dalam senyap diri. Kurang pantas apa? Apa yang salah? Bagaimana caranya? Apa yang patut diperjuangkan? Bagaimana mengembalikan yang sudah pergi? Bagaimana rupa bahagia, kalau hanya hancur yang terasa? Sederet pertanyaan [atau bahkan lebih] itu bergumul dalam jiwa. Tak ada satupun yang sanggup menerka, apa rahasia Tuhan kepada semesta. Individu lemah sepertiku hanya sanggup meraba, Seperti apa kiranya kerja Tuhan membuat hambaNya tertawa. Ah, sudahlah. Tak mampu aku membayangkan bagaimana cara kerjaNya. Sekarang, aku ingin berbaring. Menatap kopongnya atap dan dinding. Bersahabat dengan sepi, Meratap seorang diri. 

Berkabung

  Ketika itu, Sadewa terbaring lemah di atas dipannya. Lalu, datang Anjani membawakan sebuah bejana; berisi air. “Bertahanlah, Kakanda,” Pipi Anjani basah. Gadis itu meratapi sang kekasih yang tak berdaya. Di perutnya, ada luka menganga; hadiah peperangan.   “Bertahanlah, Kakanda,” Bersama pekatnya bulan, Sadewa mulai bangkit dan berjalan. Ditengoknya Anjani yang meraung; menangisi seonggok daging tanpa nyawa.

Lupa

Miriam, si gadis manis pemilik hati tangguh. Ia gemar berkeliling, mengulurkan tangan kepada siapa saja yang butuh. Menyongsong gegap gempita kehidupan, Miriam rela berkeringat demi sebuah kebenaran Miriam mulai menerima bahwa dirinya menjadi tempat bersandar banyak jiwa Ia kemudian merelakan senyumnya untuk semua, padahal dirinya sedang jatuh merana.   Terlalu asyik berkeliling, Miriam baru tersadar. Kakinya kini tak lagi ada, Semangatnya sekarang mulai mereda. Ia berteriak sekuat tenaga, Namun, tak satupun jiwa yang ia hibur dapat mendengar.   Kini, Miriam meringkung sendiri Miriam lupa, dirinya sudah tak lagi dibutuhkan. “Asalkan jiwa-jiwa itu bahagia, tak apa aku membusuk seorang diri,” ujarnya sambil bersiap bertemu Tuhan.