Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2021

Kopong

Berulang kali aku memaki, Bertanya dalam senyap diri. Kurang pantas apa? Apa yang salah? Bagaimana caranya? Apa yang patut diperjuangkan? Bagaimana mengembalikan yang sudah pergi? Bagaimana rupa bahagia, kalau hanya hancur yang terasa? Sederet pertanyaan [atau bahkan lebih] itu bergumul dalam jiwa. Tak ada satupun yang sanggup menerka, apa rahasia Tuhan kepada semesta. Individu lemah sepertiku hanya sanggup meraba, Seperti apa kiranya kerja Tuhan membuat hambaNya tertawa. Ah, sudahlah. Tak mampu aku membayangkan bagaimana cara kerjaNya. Sekarang, aku ingin berbaring. Menatap kopongnya atap dan dinding. Bersahabat dengan sepi, Meratap seorang diri. 

Berkabung

  Ketika itu, Sadewa terbaring lemah di atas dipannya. Lalu, datang Anjani membawakan sebuah bejana; berisi air. “Bertahanlah, Kakanda,” Pipi Anjani basah. Gadis itu meratapi sang kekasih yang tak berdaya. Di perutnya, ada luka menganga; hadiah peperangan.   “Bertahanlah, Kakanda,” Bersama pekatnya bulan, Sadewa mulai bangkit dan berjalan. Ditengoknya Anjani yang meraung; menangisi seonggok daging tanpa nyawa.

Lupa

Miriam, si gadis manis pemilik hati tangguh. Ia gemar berkeliling, mengulurkan tangan kepada siapa saja yang butuh. Menyongsong gegap gempita kehidupan, Miriam rela berkeringat demi sebuah kebenaran Miriam mulai menerima bahwa dirinya menjadi tempat bersandar banyak jiwa Ia kemudian merelakan senyumnya untuk semua, padahal dirinya sedang jatuh merana.   Terlalu asyik berkeliling, Miriam baru tersadar. Kakinya kini tak lagi ada, Semangatnya sekarang mulai mereda. Ia berteriak sekuat tenaga, Namun, tak satupun jiwa yang ia hibur dapat mendengar.   Kini, Miriam meringkung sendiri Miriam lupa, dirinya sudah tak lagi dibutuhkan. “Asalkan jiwa-jiwa itu bahagia, tak apa aku membusuk seorang diri,” ujarnya sambil bersiap bertemu Tuhan.