Menilik Konflik di Kolombia (1948-2016) dan Resolusinya dengan Kurva Lund

 

Kajian konflik, adalah salah satu bidang yang cukup diminati untuk diteliti. Apalagi, dalam ilmu hubungan internasional. Konflik adalah sebuah hal yang berlangsung sangat dinamis dan selalu memiliki peluang untuk kembali timbul dan memanas, setiap waktunya. Dalam kajian konflik, dikenal sebuah struktur konflik yang diperkenalkan oleh Cristopher Roger Mitchell dalam bukunya yang bertajuk The Structure od International Conflict tahun 1981. Menurut Mitchell, konflik memiliki 3 struktur utama, yaitu sikap, perilaku, dan situasi. Ketiganya mampu saling berinteraksi dan berpotensi menciptakan konflik antar aktor.

              Dari segitiga struktur konflik yang diperkenalkan Mitchell, dapat dipahami bahwa situasi akan berimbas pada perilaku. Misalnya, pihak yang gagal meraih targetnya akan mengalami frustasi hingga melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Sementara itu, situasi yang cukup menekan juga akan mempengaruhi sikap aktor. Tujuan yang tidak sesuai harapan hanya akan menimbulkan kecurigaan (bahkan ketidakpercayaan) antar aktor (Swanstrom dan Mikael, 2005). Struktur ini tentunya saling berkaitan dan tidak bisa lepas satu sama lain.

              Demi bisa memahami dengan jelas bagaimana sebuah konflik dapat tercipta, Michael Lund membuat sebuah kurva konflik pada tahun 1996. Sampai detik ini, masih banyak peneliti yang menggunakan kurva tersebut guna melakukan penelitian. Ada 5 tahapan dalam kurva perdamaian atau resolusi konflik, yakni durable peace, stable peace, unstable peace, crisis, dan war. Bagi mahasiswa yang mengkaji bidang konflik, pengertian satu per satu tahapan tersebut menjadi sangat perlu.

                                                           Kurva Lund          


     Sumber: United States Institute of Peace

Pada fase pertama dalam kurva tersebut, yakni durable peace. Di titik ini, Lund menggambarkan sebuah bentuk perdamaian yang bertahan lama. Para aktor lebih mengutamakan penguatan kerja sama dan hungan timbal balik (saling menguntungkan). Hal ini bisa dilihat dari bagaimana hubungan kerja sama antar negara-negara di Uni Eropa (UE). Bahkan, UE mendukung penuh negara anggotanya untuk merekatkan hubungan dengan negara-negara di sekitarnya, seperti UE dengan Rusia dan UE dengan Turki. Meskipun belakangan, kerja sama UE dan Rusia harus ditangguhkan lantaran negara tersebut menginvasi Ukraina pada Februari 2022.

              Tahap atau fase selanjutnya adalah stable peace, dimana memiliki kompleksitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan durable peace. Lund berpandangan bahwa stable peace lebih mengarah pada kerja sama terbatar antar para aktor, misalnya hanya di ranah perdagangan serta tidak ada kerja sama militer (United States Institute of Peace, 2008). Bentuk stable peace bisa dilihat pada hubungan China dan Rusia, belakangan ini. Kedua negara tersebut sepakat untuk membuka jembatan lintas batas pada Juni 2022. Diharapkan, jembatan ini akan mempermudah dan meningkatkan perdagangan. Kala itu, Rusia masih menderita sanksi dari Barat karena invasinya ke Ukraina. Jembatan terebut menghubungkan kota Blagoveshchensk yang terletak di Rusia ke Heihe, China. Meskipun demikian, negara-negara lain tidak perlu khawatir akan terjadinya potensi konflik. Dalam studi kasus ini, diharapkan stable peace akan berubah menjadi durable peace.

              Ketiga, ada fase unstable peace yang akan terjadi jika ketegangan terus meningkat akibat perselisihan yang tak kunjung usai. Para aktor saling menaruh curiga, namun tidak saling menyerang dengan melakukan kekerasan. Meskipun demikian, salah satu aktor tetap menganggap aktor lainnya sebagai musuh dan meningkatkan keamanan militernya. Pada tahap ini pula, diplomasi preventif bisa dilakukan untuk menekan tensi dan perdamaian. Tujuannya jelas, agar unstable peace tidak berubah menjadi krisis.

              Selanjutnya, fase akan beranjak ke krisis. Lund menegaskan, krisis akan terjadi apabila diplomasi preventif gagal dilakukan. Jadi, ketegangan antar aktor meningkat. Krisis juga bisa dicapai melalui berbagai jenis konfrontasi. Satu tanda yang paling jelas jika sebuah konflik sudah menyentuh krisis adalah, dikerahkannya pihak militer ke wilayah konflik. Upaya diplomasi tetap bisa diusahakan untuk mencegah krisis sampai ke tahap perang.

              Sampai di tahap terakhir, perang. Berbagai upaya yang dilakukan tidak membawakan hasil. Sehingga, konflik berubah menjadi perang. Di tahap ini, tentulah sudah terjadi kekerasan dan korban jiwa berjatuhan. Perang juga disebut sebagai kelanjutan pertempuran angkatan bersenjata, dari mulai dengan intensitas rendah hingga tinggi. Perang-perang besar yang bisa dicontohkan adalah Perang Dunia II dan perang Vietnam.

Demi mengakhiri perang, biasanya hadir pihak ketiga dan dikenal dengan nama peacemaking. Contohnya adalah organisasi internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Ketika usaha perdamaian berhasil, maka perang akan mereda. Pihak-pihak terkait tentunya akan menjaga perdamaian (peacekeeping) agar perang tidak kembali terjadi. Menurut penulis, pemahaman dalam menganalisa tahap-tahap penyelesaian konflik adalah agar para peneliti bisa dengan mudah membaca dan memetakan sebuah pergolakan konflik di sebuah negara atau antar negara. Para peneliti juga mampu melihat bagaimana proses negosiasi demi mencapai perdamaian bisa terwujud demi menumpas perang.

Studi Kasus: Konflik Menahun di Kolombia (1948-2016)

              Kolombia merupakan negara di Amerika Selatan (Amerika Latin) yang pernah mengalami konflik tahun 1964. Munculnya ketegangan atau unstable peace mulai terasa sejak politik modern berkembang di Kolombia, sekitaran tahun 1840 (Lestari, 2019). Kala itu, sistem partai di Kolombia terbagi menjadi 2, yakni Konservatif dan Liberal. Alih-alih membawa Kolombia ke arah yang lebih baik usai merdeka, kehadiran partai ini justru nihil dampak apapun untuk negara. Lebih parah, adanya partai ini membangkitkan kembali peluang kaum elit untuk menguasai lahan-lahan di Kolombia. Terlebih, kedua partai ini mempunyai pandangan berbeda, dimana partai Konservatif lebih berlandaskan pada peraturan negara yang menyebut bahwa gereja dan tokoh agama di gereja berhak atas kepemilikan tanah dengan jumlah yang lebih besar. Di sisi lain, partai Liberal lebih memilih untuk melumatkan praktek perbudakan dan pembenahan atas kepemilikan tanah.

              Lanjutnya, krisis mulai terjadi di tahun 1948, ketika Jorge Eliecer Gaitan yang merupakan pimpinan partai politik tewas dibunuh pada 9 April 1948. Gaitan merupakan sosok yang sangat digemari oleh para buruh tani dan rakyat kecil, karena sangat mendedikasikan diri untuk keadilan. Usai kematiannya, kisruh langsung terjadi di Kolombia. Krisis tersebut tidak dapat dibendung dan pecah perang saudara di Kolombia. Dengan kata lain, kematian Gatian membawa Kolombia ke babak baru, yakni peperangan saudara (Trapani, 2017). Sebab, diketahui bahwa pembunuhnya berasal dari partai Konservatif. Korban jiwa berjatuhan sebanyak 200 ribu orang selama 10 tahun (sampai tahun 1958).

Dalam menangani perang saudara ini, pemerintah Kolombia berusaha menjadi peacemaker guna mengakhiri perang. Penelitian yang dilakukan oleh Sanin dan Juan tahun 2009 bertajuk The Colombian case: Peace-Making and Power Sharing The National Front (1958-1974) and New Constitution (1991-2002) Experiences menyebut bahwa pemerintah Kolombia menciptakan National Front (selanjutnya penulis sebut dengan NF), dimana merupakan kesepakatan konsosiatif antara partai Liberal dan Konservatif. Tujuan utama NF jelas mengarah pada perdamaian, pembangunan, dan transisi menuju demokrasi. Pemimpin kedua partai itu diberi kesempatan untuk memimpin Kolombia selama 16 tahun, secara bergantian. Sayangnya, upaya menjaga kedamaian atau peacekeeping ini gagal karena ada anggota kelompok aliran kiri merasa kecewa. NF dianggap tidak mampu menjadi jawaban atas pendistribusian tanah di negara tersebut. Sampai akhirnya, kelompok kiri semakin banyak bermunculan seperti Ejercito Popular del Pueblo atau EPL, Ejercito de Liberacion Nacional atau ELN, dan Fuerzas Armadas Revolucionaris de Colombia atau FARC-CP. Kelompok inilah yang kemudian menjadi kelompok beraliran kiri paling besar di Kolombia, serta berkembang secara pesat.

 

Konflik Mengganas Berujung Damai

FARC-CP terlibat konflik bersenjata dengan pemerintah Kolombia dimulai sejak tahun 1964. Hal itu dipicu tindakan FARC-CP yang melakukan perdagangan gelap, termasuk penambangan emas ilegal. Data milik National Center for Historical Memory atau Centro Nacional de Memoria Historica menyatakan, korban tewas yang berhasil terdata adalah 177.307 orang. Sementara, jumlah korban secara keseluruhan (termasuk mereka yang diculik dan mengungsi) adalah 450 ribu.

Setelah lebih dari 50 tahun terlibat konflik, kedua belah pihak akhirnya bersedia melakukan gencatan senjata dan melakukan perundingan damai. Ada berbagai negara (aktor) yang terlibat dalam proses perdamaian tersebut, seperti Amerika Serikat (AS), Kuba, Norwegia, Brasil, Ekuador, dan Venezuela. Pembicaraan mengenai resolusi damai dilakukan di Havana, Kuba dan berujung pada kesepakatan perdamaian. Pihak pemerintah Kolombia yang diwakili sang Presiden, Juan Manuel Santos, menegosiasikan 4 poin penting dengan FARC-CP. Keempatnya adalah perdagangan narkotika, transisi hukum, partisipasi politik, dan reformasi agrarian.

Peran Amerika Serikat (AS) dalam proses peacemaking sangat terasa. Dalam kepemimpinan Barrack Obama, Washington selalu menjadi mediator dalam negosiasi (Kartikasari, 2019). Adapun proses pembicaraan perdamaian antara pemerintah Kolombia dengan FACR-CP sudah dilakukan sejak tahun 2012 dan perjanjian damai resmi ditandatangani pada tahun 2016.



Salam, 

Ajeng W

Mahasiswi (yang belum sama sekali) tau banyak hal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Corat Coret Malam Hari: Kereta Api Sebagai Bukti Kuasa Belanda di Nusantara

Arogansi Kamboja Dulang Emas di SEA Games 2023