Corat Coret Malam Hari: Kereta Api Sebagai Bukti Kuasa Belanda di Nusantara

Stasiun Jakarta Kota memiliki tempat tersendiri di hati saya. Bangunannya yang kokoh dan megah, seakan hangat menyambut seluruh pengunjung; setiap detiknya. Stasiun ini luar biasa sibuk, sebab fungsinya yang memang sangat penting.

 

                                               Stasiun Jakarta Kota (Foto: dokumen pribadi)

Entah kenapa, sejak kecil saya sangat tertarik dengan bangunan-bangunan kolonial, tak terkecuali Stasiun Jakarta Kota. Pilar-pilarnya yang kuat, jendela dan pintunya yang besar, serta atapnya yang amat tinggi membuat bangunan kolonial itu terasa sangat sejuk. Pembangunan stasiun ini dimulai pada tahun 1870 dan dikenal dengan nama Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij) atau Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur. Berlandaskan pada informasi yang ada di laman Heritage KAI, stasiun ini dikenal juga dengan nama Batavia Zuid atau Batavia Selatan. Stasiun Beos lantas ditutup pada tahun 1926 untuk direnovasi. Pembangunannya dinyatakan selesai pada 19 Agustus 1929 dan baru resmi digunakan sekitar 2 bulan setelahnya.

Usut punya usut, Stasiun Jakarta Kota merupakan karya Frans Johan Louwrens Ghijsels, seorang arsitek Belanda yang lahir dan besar di Tulungagung, Jawa Timur. Pria kelahiran 8 September 1882 itu berhasil memadukan struktur dan teknik modern Barat dengan desain tradisional Batavia. Jika Anda menapaki kaki di Stasiun Jakarta Kota, jangan abai bahwa desain bangunan art deco yang kental pun sangat terasa.

“Kesederhanaan adalah jalan paling pendek menuju kecantikan,” itulah filosofi Yunani Kuno yang dipegang Opa Frans. Filosofi itu juga yang ia gunakan ketika merancang Stasiun Jakarta Kota. Meskipun terkesan sederhana, namun stasiun tersebut terlihat sangat cantik dan megah di zamannya; bahkan hingga detik ini. Stasiun Jakarta Kota ditetapkan sebagai Bangunan Stasiun Cagar Budaya Berdasarkan SK Gubernur No. 475 Th. 1993, 29 Maret 1993; dan SK Menbudpar No: PM.13/PW.007/MKP/05, 25 April 2005.

 

                                               Stasiun Jakarta Kota (Foto: dokumen pribadi)


Stasiun Jakarta Kota hanyalah 1 dari sekian banyak stasiun yang ada di Indonesia. Data resmi yang dipublikasi oleh Kementerian Perhubungan mengatakan, jumlah stasiun di Indonesia mencapai 629 unit per tahun 2019. Ada pun rinciannya adalah, 463 unit di pulau Jawa dan 166 unit stasiun di wilayah Sumatera. Sayangnya, saya tidak mendapatkan data tahun masing-masing pembangunan stasiun tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa sebagian besar stasiun di Indonesia dibangun oleh pemerintah Belanda pada masa lampau.

Bukan untuk transportasi manusia, kereta api awalnya difokuskan sebagai sarana pengangkutan hasil pertanian. Menurut pengamatan (ala-ala) saya, dibangunnya jalur kereta api berkaitan dengan sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch pada tahun 1830an. Peneliti asal Balai Arkeologi Jawa Barat, Iwan Hermawan, mengungkapkan bahwa pelaksanaan sistem tanam paksa banyak dilakukan di pulau Jawa dan hanya sedikit di luar Jawa (jurnal Kereta Api: Kuasa Ekonomi Masa Kolonial Belanda, 2008). “Di Jawa sistem ini diberlakukan di 18 wilayah karesidenan, yaitu Banten, Priangan, Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri,” papar Iwan dalam jurnalnya. Akan tetapi, ada sedikit pengecualian untuk wilayah Batavia (kini Jakarta), Buitenzorg (kini Bogor), dan Vorstenlanden (Yogyakarta-Solo), sebab di daerah-daerah tersebut sudah berlaku sistem persewaan. Pada jurnal tersebut, Iwan juga menyampaikan bahwa tanam paksa menuai keberhasilan karena produksi tanaman ekspor meningkat tajam. Contohnya adalah produksi kopi dan gula tahun 1840 mengalami peningkatan 3-4 kali lipat dari tahun 1830.

Dengan meningkatnya produksi komoditas ekspor, satu masalah baru muncul. Masalah tersebut adalah pengangkutan dari pusat-pusat pertanian/perkebunan ke pelabuhan. Pada awalnya, pengangkutan dilakukan dengan cara dipikul oleh manusia. Namun, cara tersebut dinilai kurang efektif dan berganti menjadi gerobak yang ditarik hewan. Lambat laun, para pengusaha merasa cara tersebut bukanlah jawaban dan menginginkan moda angkutan yang lebih baik.

Menilik fakta sederhana itu, pembangunan jalur kereta api adalah salah satu bentuk hegemoni Belanda. Dengan segala keuntungan yang ada buah tanam paksa di masa Bosch, pemerintah Hindia Belanda jelas akan melakukan apa saja demi mempermudah pengangkutan ‘komoditas emasnya’.  Semakin cepat jalur kereta api dibuat dan keretanya beroperasi, semakin cepat pula arus pengiriman hasil bumi dengan keuntungan melimpah. Ditambah, kuantitasnya juga meningkat jauh.

Pencangkulan pertama jalur kereta api dilakukan pada titik Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele, pada tanggal 17 Juni 1864. Pembangunanannya sendiri dilaksanakan oleh perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) menggunakan lebar sepur 1435 mm. Selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api juga dilakukan di Aceh (1876), Sumatera Utara (1889), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan Sulawesi (1922).


                                  Pembangunan rel kereta api (sumber: KAI)


Seiring berjalannya waktu, kereta api bukan hanya digunakan untuk mengangkut hasil bumi, namun juga sebagai sarana transportasi masyarakat (terutama kaum borjuis Belanda). Kereta api jelas merupakan moda transportasi warisan kolonial yang hingga kini menjadi penopang transportasi massal Indonesia. Terkadang, saya ingin memiliki kemampuan retrokognisi seperti Om Hao, agar bisa melihat sedikit proses pembangunan rel kereta api dan stasiunnya. Atau setidaknya, bisa merasakan bagaimana suasana pada masa itu. Jadi, bagaimana menurut Anda tentang keberadaan kereta api di Indonesia?


Salam, 

Ajeng W 

Mahasiswi yang (belum) tahu banyak hal. 

*seluruh data yang saya gunakan bisa diakses secara langsung di Google.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arogansi Kamboja Dulang Emas di SEA Games 2023

Menilik Konflik di Kolombia (1948-2016) dan Resolusinya dengan Kurva Lund