Perempuan Saudi dalam Isu Kesetaraan Gender
Isu gender menjadi hal yang sangat ramai dibahas dalam kajian hubungan internasional. Secara garis besar, gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang memang dibangun secara sosial dan kultural. Dalam hubungan internasional, khususnya bagi keamanan internasional, hal ini dianggap sebagai arena khusus kaum pria. Akan sangat berat dan dipandang sebelah mata jika kaum perempuan yang melakukan hal tersebut. Terlebih, kegiatan bela negara seringkali diasosiasikan dengan perang. Berkembangnya isu gender dalam hubungan internasional memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan kaum perempuan. Sebab, selama ini fokus dalam hubungan internasional, seperti keamanan dan perang menjadi ranah pria.
Pada awalnya, proses perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak-haknya dinahkodai
oleh Marquis de Condorcet dan Lady Mary Wortley pada 1785 di Middleburg,
Belanda. Kala itu, Condorcet dan Wortley mendorong perempuan mendapatkan hak
untuk mengikuti pemilihan umum. Banyak perempuan di wilayah tersebut yang tidak
mampu membaca dan menulis, alias buta huruf. Hal tersebut menjadikan kaum
perempuan pada masa itu tidak memiliki keahlian. Itulah yang melatar belakangi
keduanya memperjuangkan perempuan mendapatkan hak dalam pemilihan umum.
Perjuangan keduanya lantas buntu dan terbentur banyak penolakan.
Seratus tahun kemudian, hal terkait kesetaraan gender mulai banyak diteriakkan kaum perempuan. Apalagi, saat kemajuan industri dan teknologi kian kencang. Banyak pekerja perempuan yang menuntut berimbangnya hak, pendapatan atau gaji dan masalah kekerasan terhadap perempuan.
Gerakan
perempuan yang semakin masif ini mendorong terciptanya kaum feminis. Feminisme
berperan sebagai gagasan dan studi kehidupan sosial dari perspektif yang
berpusat pada kaum perempuan. Sementara itu, dalam buku ‘Feminisme dalam
Hubungan Internasional’ yang ditulis oleh Scott Burchill dan Andrew Linklater,
berbagai jenis feminisme timbul seiring berjalannya waktu. Contohnya adalah
feminisme radikal, feminisme kultural, feminisme liberal dan eko-feminisme.
Burchill dan Linklater menilai, keberagaman ini ada lantaran pandangan kaum perempuan yang berbeda-beda dalam menyikapi dan menghadapi representasi feminisme yang luar biasa. Berlandaskan para pemikir feminis, hubungan internasional dilihat sebagai sebuah disiplin yang mengesampingkan kaum perempuan, serta para feminis. Artinya, hubungan internasional masih sangat maskulin. Disiplin ini juga sangat menghindari adanya dialog mengenai feminisme. Justru, dengan melihat 2 masih termarjinalkannya kaum perempuan dan feminis di ranah hubungan internasional, banyak pihak yang bersemangat dan mengkaji lebih dalam mengenai feminis dalam hubungan internasional.
Feminis
hubungan internasional akan dihadapkan pada perjalanan yang sangat cerah dan
menjanjikan. Sebab, di kemudian hari banyak ahli berpendapat bahwa kajian
seputar feminis hubungan internasional akan sangat pesat dan digandungi banyak
peminat. Tantangan terbesarnya adalah, bagaimana menyatukan dan mengembangkan
kelompok non feminis dengan feminis hubungan internasional. Senada dengan
Burchill dan Linklater, Judith Squires beserta Jutta Weldes dalam jurnalnya
bertajuk ‘Beyond Being Marginal: Gender and International Relations in
Britain’, menyebut bahwa masifnya analisis mengenai kajian gender dalam
hubungan internasional memungkinkan disiplin ini semakin mengembangkan sayapnya
dan bergerak melampaui batas demi meneliti hal-hal internasional.
Bagaimana dengan Saudi?
Arab Saudi, merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang membatasi
hak-hak kaum perempuan. Banyak sekali hak perempuan yang dibatasi di sini,
seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Gerak perempuan di negera tersebut
juga sangat dibatasi, misalnya tidak boleh bepergian atau mengemudi seorang
diri dan harus ditemani walinya. Arab Saudi menjadi negara hegemoni bagi
warganya sendiri. Dalam bidang pendidikan, perempuan di Saudi hanya
diperbolehkan memilih bidang studi tertentu seperti ilmu keguruan, kesehatan
dan sastra. Sementara itu, kaum pria boleh memilih bidang studi maskulin.
Contohnya adalah teknologi dan ilmu sains.
Di sisi politik, perempuan hanya boleh berpartisipasi dalam
memberikan hak suaranya apabila ada wali yang mengantarkan mereka ke bilik
suara. Dalam ranah ekonomi, perempuan dibatasi untuk bekerja. Data Bank Dunia
menyebut, hanya 22 % perempuan di Saudi yang bisa bekerja di luar rumah.
Sementara, pria yang bekerja di luar rumah mencapai 78 %. Raja Abdullah sempat
membuat keputusan yang sangat mengejutkan, dengan mengangkat seorang perempuan
bernama Noura Al Fayez untuk menjadi Wakil Menteri Pendidikan. Hal tersebut
sontak menarik banyak reaksi dari banyak pihak. Ramai pula perempuan yang
menyuarakan agar hak-haknya turut terpenuhi. Mereka tidak bersuara secara
bersama-sama dalam sebuah organisasi. Melainkan hanya melalui individu, sebab
negara tersebut sangat ketat membatasi berkembangnya organisasi sosial.
Perjuangan kaum perempuan di Saudi tidaklah mudah. Masih banyak tokoh agama
yang memiliki pandangan konservatif. Dewasa ini, kesetaraan gender di Saudi
sudah mulai membaik. Kenyataan tersebut didapat usai pemerintah Saudi
memperluas ruang gerak perempuan di negaranya. Contohnya adalah memperbolehkan
perempuan menyetir seorang diri dan bepergian ke mana saja.
Langkah itu mulai dilakukan pada 2018 dengan mulai
mengeluarkan SIM (Surat Izin Mengemudi) bagi perempuan. Rupanya, pembebasan
ruang bagi kaum perempuan di Saudi ini adalah bagian dari Visi Saudi Arabia
2030 yang digagas oleh Pangeran 3 Mohammed bin Salman. Dimana, pemerintah tak
ingin lagi mengandalkan minyak sebagai tiang utama ekonomi. Melainkan, ingin
melakukan diversifikasi ekonomi dan mengembangkan lini lain, selain minyak.
Diperbolehkannya kaum perempuan untuk mengendarai mobil ini juga dimanfaatkan
sekelompok perempuan untuk mendirikan perusahaan taksi daring yang memang
memberdayakan kaum perempuan. Taksi daring tersebut adalah Leena. Ini menjadi
bentuk nyata bahwa perempuan Saudi sudah bisa mandiri dan berperan dalam
peningkatan ekonomi di negara tersebut. Sementara itu, berdasarkan data Gender
Inequality Index (GII) 2018 di kawasan Timur Tengah, Saudi memiliki tingkat GII
0.224. Sedangkan, Suriah hadir dengan tingkat GII 0,547. Sedangkan, tingkat GII
secara keseluruhan di Timur Tengah adalah 0,531. Artinya, Saudi memiliki
tingkat ketidaksetaraan gender yang sangat rendah di Timur Tengah. Di tahun
2020, jumlah pekerja perempuan di Saudi mengalami peningkatan drastis sebesar
120 %. Fakta ini menjadi angin segar bagi perempuan di sana, sebab sedikit demi
sedikit mereka mulai mendapatkan hak yang selama ini tidak diberikan.
Visi Saudi Arabia 2030, Janjikan Merdekanya Perempuan di
Negara Itu
Teori sosialisme pasar bisa digunakan untuk menganalisa studi
kasus di atas. Gagasan sosialisme pasar pertama kali diimplementasikan di Uni
Soviet dan negara-negara lain di Eropa Timur pada tahun 1920-an. Sepuluh tahun
kemudian, sosialisme pasar mulai dikembangkan secara luas oleh Oscar Lange.
Sosialisme pasar berarti jenis ekonomi yang melibatkan banyak pihak dalam
kepemilikannya. Maka dari itu, sosialisme pasar ditilik sebagai ekonomi
campuran. Lange yang merupakan ahli ekonomi itu berpendapat bahwa negara
tetaplah mempertahankan kepemilikan modal dan sumber daya alamnya. Namun,
mekanisme harga tetap dijalankan guna meniru mekanisme pasar dalam persaingan
sempurna. Negara mengimplementasikan pasar bebas, bukan ekonomi terpusat dalam
mengalokasikan barang yang dimiliki perusahaan negara dan alokasi tenaga kerja.
Salah satu model dari sosialisme pasar adalah model demokrasi
ekonominya yang memberikan kebebasan bagi pekerja untuk mengelola sendiri
perusahaannya, sebagai sumber ekonomi. Arab Saudi adalah negara yang sangat
mengandalkan minyak bumi sebagai tiang pancang perekonomiannya. Negara ini
memasok setidaknya 16 % minyak bagi seluruh dunia. Pemerintah Saudi, melalui
Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman mencetuskan Visi Saudi Arabia 2030
yang ingin melepaskan diri dari ketergantungan minyak. Sebab, harga minyak
seringkali mengalami fluktuasi yang berimbas pada keadaan Saudi yang terkadang
tak menentu. Visi Saudi ini mengharuskan warganya untuk memiliki pendidikan dan
keterampilan pasar yang dimiliki. Diharapkan, 70 % dari pekerjaan di kerajaan
dapat dipegang oleh masyarakat dalam 10 tahun mendatang. Sementara itu, ekspor
komoditas selain minyak diharapkan bisa bertumbuh lebih dari 50 % pada 2030. Dengan adanya Visi Saudi Arabia dalam 10 tahun mendatang, maka ekonomi Saudi
berpeluang mengalami transformasi ke arah sosialisme pasar. Namun demikian, pemerintah
Saudi pasti akan dihadapi pada tantangan yang sangat kompleks, salah satunya
adalah pengembangan kualutas SDM atau Sumber Daya Manusia. Sektor ini dianggap
sangat penting dan menjadi peringatan yang diajukan IMF (International Monetary
Fund) ke pemerintah Saudi. Masa depan Saudi diproyeksikan akan sangat cerah
karena visi tersebut. Pemerintah akan membuka kerjasama yang lebih masif dengan
sektor swasta dan mendorong terjadinya pertumbuhan signifikan dalam ekonomi.
Saudi juga memfokuskan diri agar rakyatnya bisa dengan mudah membangun dan
mengakses pendidikan yang erat kaitannya dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Di sisi lain, menurut saya, keberadaan Visi Saudi Arabia 2030
juga akan memberikan peluang besar kepada para pengusaha besar dan kecil untuk
berkembang, meningkatkan lapangan pekerjaan dan kualitas layanan serta
pembangunan ekonomi. Bagi kaum perempuan di Saudi, saya berpendapat bahwa
adanya Visi Saudi Arabia 2030 dan peluang terciptanya sosialisme pasar
memberikan imbas positif disertai harapan besar. Sebab, keberadaan visi dan
sistem ekonomi ini memungkinkan setiap warga negaranya memiliki akses
pendidikan dan peluang yang sama dalam melakukan pekerjaannya, tak terkecuali
bagi perempuan. Kesetaraan gender bukanlah hal yang mustahil di negara itu.
Terlihat dari indeks GII yang telah diutarakan di atas. Menarik rasanya apabila
ada kajian atau penelitian lebih lanjut terkait dampak signifikan Visi Saudi
Arabia 2030 dan sosialisme pasar di Saudi pada kaum perempuan di negara
tersebut.
Salam,
Ajeng W -Mahasiswi Magister HI Universitas Paramadina.
👍
BalasHapus