Utak Atik Sinetron Bertema ‘Pelakor' di Indonesia: Sebuah Pandangan Berlandaskan Feminisme

 

Kalau ditilik, keberadaan sinetron atau series bertema pelakor (perebut laki orang) atau perselingkuhan sedang marak berseliweran di layar kaca. Baik itu di stasiun televisi, maupun layanan OTT (over the top). Alur kisahnya sama dan menawarkan kegemesan tersendiri untuk para penonton. Kisah klasik, seperti pria beristri yang cinlok dengan teman sekantornya atau suami yang mencoba mencari kesenangan di luar rumah dengan pergi ke tempat-tempat hiburan dan bertemu teman lamanya. Sampai akhirnya, hubungan mereka berlanjut jadi perselingkuhan.

Sebagai orang yang senang nimbrung Ibu nonton sinetron bertema seperti itu, jujur saya ikutan gemes. “Gimana sih, jadi perempuan kok mau aja diselingkuhin. Bukannya langsung minta pisah, malah dipertahanin,”. Komentar saya tak ayal sering membuat Ibu kesal. “Hanya sinetron. Gausah lebay,” katanya. Tapi beberapa menit kemudian, Ibu juga turut berkomentar seperti ini: “Nah kan ketahuan kalau selingkuh!”. Saya balas dengan “Santai, Bu. Hanya sinetron,”. Tidak mau terlalu larut dalam emosi, saya lebih memilih masuk ke kamar dan tidur (meskipun kadang nonton Nadia Omara, sih).

Berangkat dari hal tersebut, saya jadi berpikir. Mengapa sinetron dengan genre seperti itu sangat menarik untuk disaksikan dan bahkan terkesan nagih. Menjadikan perempuan sebagai seorang selingkuhan, kemudian melukai hati istrinya yang juga perempuan. Akhirnya, sesama perempuan saling melukai demi mendapatkan pria yang sebetulnya tidak pantas. Belum lagi menyorot jelas tentang adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan menonjolkan anak sebagai objek yang diperebutan. Tak jarang, anak menjadi saksi orangtuanya berselingkuh. Satu hal yang ingin saya soroti pula adalah bentuk dominasi perempuan terhadap pria beristri yang menjadikannya selingkuhan. Faktornya bisa banyak, mulai dari ingin menguasai harta, jaminan hidup enak, serta uang belanja di atas rata-rata.

 

‘Pelakor’ Sebagai Dominator

Anyway, saya mencoba menganalisis dominasi pelakor dengan teori feminisme. Sekilas mengenai feminisme, awalnya adalah gerakan sosial yang muncul ke permukaan pada sekitaran tahun 1848 di New York, Amerika Serikat (AS). Hasil baca-baca dari banyak sumber, 2 orang yang mengusung feminisme dan memperjuangkan hak-hak perempuan adalah Susan B. Anthony dan Elizabeth Candy Stanton. Kala itu, keduanya berjuang demi menghapus perbudakan di AS dan memperjuangkan agara perempuan bisa memiliki kesempatan untuk memilih.

Pemikiran tersebut masuk dalam kategori pertama yang konservatif. Mengapa? sebab, seiring berjalannya waktu, pandangan feminisme bergeser menjadi lebih modern atau kekinian alias kontemporer. Diskursus mengenai feminisme terus berkembang dan menyebar ke banyak negara. Secara garis besar, ada beberapa tipologi feminisme yang saya ambil dari sebuah jurnal karya Abdullah Muslich (2013) tentang ‘Feminisme sebagai Diskursus Pandangan Hidup’, yakni feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxist dan sosialis, serta feminisme psikoanalitis-eksistensial.

Dalam analisa singkat ini, saya pilih untuk melihatnya dari bingkai feminisme liberal. Meskipun adalah yang pertama muncul, namun feminisme liberal seakan tak usang dimakan waktu, lantaran masih dapat menjabarakan fenomena yang terjadi sampai saat ini. Secara garis besar, feminisme liberal berpijak pada pola pikir dan nalar perempuan untuk mendapat kedudukan, hak, dan kesempatan setara dengan kaum pria. Ada pula yang memandang bahwa feminisme liberal merupakan sebuah faham yang berusaha mewujudkan kesetaraan gender antara pria dan wanita. Sehingga, tidak ada lagi gap dan nihil superioritas bagi kaum pria. Camille Cottaits dalam tulisannya berjudul ‘Liberal Feminism’, menekankan bahwa kesamaan hak yang dituntut kaum wanita bukan hanya mengenai kedudukan dan hak, melainkan juga pernikahan dan pendidikan. Feminisme liberal memiliki sifat individu dan bukan kelompok.

Berlandaskan pada telusur literatur tersebut, saya melihat bahwa para pelakor yang digambarkan dalam berbagai sinetron di Indonesia sebagai bentuk penerapan feminisme liberal. Mereka mencoba sebisa mungkin dipandang dan mendapatkan dominasi atas seorang pria (meskipun si pria telah memiliki istri). Apabila anda menilik lebih dalam lagi, para pelakor berusaha sebisa mungkin untuk duduk di singgasana pempimpin perusahaan atau pengelola perusahaan keluarga pria. Mereka tentunya menghendaki adanya pengakuan atas jabatan atau posisi yang dimiliki.

Sementara itu, rata-rata pelakor memiliki masa lalu kelam. Mulai dari dicampakkan oleh pasangan terdahulu, dipandang sebelah mata, hingga diremehkan. Melalui cara merebut laki orang, mereka berusaha melampaui batas dengan menjadi dominator. Sayangnya, keputusan mereka tersebut melukai perasaan istri sah sang pria. Dalam analisis singkat (dan banyak kekurangan ini), saya mencoba netral. Di satu sisi, iklim sosial Indonesia memang lebih menyoroti pelakor yang bersalah dan pantas mendapatkan sanksi sosial bertubi-tubi. Namun di sisi lain, pelakor juga ingin menunjukkan dominasinya atas si pria. Hal itu dapat terjadi karena banyak hal, mulai dari luka masa lalu, kondisi ekonomi, hingga kondisi psikologis.

*ps: saya selalu berharap kualitas sinetron di Indonesia meningkat. Kalau tema pelakor-pelakoran ini dikemas dengan apik, saya optimis akan banyak memberikan pelajaran kepada masyarakat luas.

Salam,

Ajeng W

Mahasiswi yang (belum sama sekali) tahu banyak hal. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Corat Coret Malam Hari: Kereta Api Sebagai Bukti Kuasa Belanda di Nusantara

Arogansi Kamboja Dulang Emas di SEA Games 2023

Menilik Konflik di Kolombia (1948-2016) dan Resolusinya dengan Kurva Lund